Jumat, 20 Mei 2011

Makalah Problematika Pendidikan Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” (khalifah) pada semesta (Tafsir, 1994). Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan), sebagai tujuan akhir dari pendidikan.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam, sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya (al-Attas, 1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan - terutama peserta didik -- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasid-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses 'isolasi diri' dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Berjalannya waktu pendidikan Islam tidak lagi sejaya sejarahnya, pendidikan Islam sekarang mengalami banyak kemunduran karena beberapa faktor. Pertanyaannya akankah pendidikan Islam saat ini bisa bangkit dan menyaingi kejayaan sejarahnya? Di makalah inilah penulis ingin mengurai secara detail masalah-masalah apa yang terjadi di dalam pendidikan Islam saat ini dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi pendidikan Islam hingga mencapai tingkat kritis seperti sekarang ini.
B.            Permasalahan
1.        Pendidikan Islam
2.        Makna Problem dan Masalah Pendidikan Islam
3.        Pokok-Pokok Permasalahan Pendidikan Islam
4.        Kompleksitas Problem Pendidikan
5.        Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah Pendidikan Islam

C.           Tujuan
1.        Untuk Mengetahui Makna Pendidikan Islam
2.        Untuk Mengetahui Makna Problem dan Masalah Pendidikan Islam
3.        Untuk Mengetahui Pokok-Pokok Permasalahan Pendidikan Islam
4.        Untuk Mengetahui Kompleksitas Problem Pendidikan
5.        Untuk Mengetahui Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah Pendidikan Islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendidikan Islam
1.        Pengertian Pendidikan Islam
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu al-Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), al-Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), al-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal). (Hasan Langgulung : 1988).
a.         Istilah al-Tarbiyah
Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “rabba” (رَبَّى), yurabbi (يُرَبِّى) menjadi “tarbiyah” yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili dan sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan alam. (Zuhairini, 1995:121).
b.        Istilah al-Ta’lim
Secara etimologi, ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses pembelajaran ini disajikan dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus menjelaskan hubungan antara pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. (Jalaluddin, 2001:122).


c.         Istilah al-Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, konsep ini didasarkan pada hadits Nabi:
اِدَّ بَنِيْ رَبِّى فَأَحْسَنَ تَـأْدِيْبِيْ {رواه العسكرى عن على}
Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku”
(HR. al-Askary dari Ali r.a).
Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. (Samsul Nizar, 2002:32).
2.        Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk :
a. Alat untuk memperluas, memelihara, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional
b.    Alat untuk mengadakan perubahan inovasi dan perkembangan.
3.    Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia. (Samsul Nizar, 2002:38).

B.       Makna Problem dan Masalah Pendidikan Islam
Barangkali secara umum orang memahami masalah (problem) sebagai kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Namun dalam matematika, istilah “problem” memiliki makna yang lebih khusus. Kata “Problem” terkait erat dengan suatu pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan problem solving. Dalam hal ini tidak setiap soal dapat disebut problem atau masalah. Ciri-ciri suatu soal disebut “problem” dalam perspektif ini paling tidak memuat 2 hal yaitu:
1.    Soal tersebut menantang pikiran (challenging),
2.   Soal tersebut tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya (nonroutine).[1]
Masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai Adab (etika) dalam arti luas.
Hal ini terjadi disebabkan kerancuan dalam memahami konsep. Ada tiga konsep;
1.        Ta'lim
2.        Tarbiyah
3.        Ta'dib.
       JIka konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada Tarbiyah atau Ta'lim, maka pandangan hidup barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme akan merasuk. Dengan begitu, nilai-nilai adab semakin kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai Hikmah Ilahiyah. Hal ini menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
       Jika cenderung lebih memakai Ta'dib dari pada Tarbiyah dan Ta'lim, alasan mendasar memakai istilah Ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki Adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang. (dalam keyakinan agama bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu, karena ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni ; Alquran dan Hadis). Bagaimana penggabungan antara ilmu umum dan agama. Sebab, masing-masing memiliki epistema (asal pengetahuan) yang berbeda.

C.   Pokok-Pokok Permasalahan Pendidikan Islam
1.        Kualitas,
2.        Relevansi,
3.        Elitisme, dan
4.        Manajemen
Keempat masalah di atas merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya (Tilaar, 1991). Permasalahan ini terjadi pada pendidikan secara umum di Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar problematikanya.

D.   Kompleksitas Problem Pendidikan
Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan (Soeroyo, 1991: 77). Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam Undang- Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam.

E.   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah Pendidikan Islam
Masalah pendidikan Islam timbul karena dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.
1.        Faktor internal
a.       Meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional [Diknas] yang umumnya dikelola secara modern.
b.      Faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajarmengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru.
c.       Adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike (Mahfudh Djunaidi, 2005), dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
2.        Faktor eksternal
a.       Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas (Mahfudh Djunaidi, 2005). Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, toh pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
b.      Dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Beberapa indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) siswa, hingga tidak adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan Islam tidak berada di bawah Depdiknas (Abdul Aziz, Kompas, 2005), dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.
c.       Adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas (M Dahriman, 2005).


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Penulis menyimpulkan bahwa Pendidikan Islam saat ini sudah berada pada titik terakhir kebangkitan. Seandainya kita sebagai umat Islam yang kebetulan diberikan Allah amanah untuk menjadi seorang guru, kita wajib membangkitkan kembali Pendidikan Islam yang dahulu kala pernah jaya, karena jikalau kita hanya berdiam diri mungkin Pendidikan Islam ini akan mati suri dan kemungkinan besar akan mati betulan.

B.       Saran dan Solusi
       Saran penulis sudah terdapat pada kesimpulan di atas. Tentang solusi yang akan kita lakukan untuk memperbaiki umat Islam dan Pendidikan Islam ini adalah mengIslamkan umat Islam, karena perubahan besar dimulai dari diri sendiri.



         [1] Diakses 18 Desember 2010 http://www.mathgoodies.com/articles/2007”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar